Kerajaan Galuh Purba
Top Web Hosting |
| accountant website design
Abad III - IV
Van der Meulen (1988): (Indonesia di Ambang Sejarah - Kanisius) menyatakan bahwa pendatang- pendatang dari tanah Kutai dating ke tanah Jawa jauh sebelum abad ke 3 Masehi. Pendatang- pendatang itu masuk dari pantai Cirebon dan menetap di pedalaman sekitar gunung Cerme, gunung Slamet dan lembah sungai Serayu.
Kerajaan Galuh Purba dibangun oleh pendatang yang menetap di kawasan Slamet (Ratu Galuh), kemungkinan kerajaan bernama Galuh Sinduala ( Bojong Galuh) dan beribukota di Medang Gili (78 M) Namun ini masih di ragukan karena Bahasa dan tulisan sansekerta belum di kenal luas pada jaman itu. Pada abad 1 – 6 banyak kerajaan yang memakai kata Galuh selain kerajaan Galuh Purba di Jawa. Diantaranya: • Kerajaan Galuh Rahyang yang berlokasi di Brebes, beribukota di Medang Pangramesan • Kerajaan Galuh Kalangon yang berlokasi di Roban, beribukota di Medang Pangramesan • Kerajaan Galuh Lalean yang berlokasi di Cilacap, beribukota di Medang Kamulan • Kerajaan Galuh Tanduran yang berlokasi di Pananjung, beribukota di Bagolo • Kerajaan Galuh Kumara yang berlokasi di Tegal, beribukota di Medangkamulyan • Kerajaan Galuh Pataka yang berlokasi di Nanggalacah, beribukota di Pataka • Kerajaan Galuh Nagara T engah yang berlokasi di Cineam, beribukota di Bojonglopang • Kerajaan Galuh Imbanagara yang berlokasi di Barunay (Pabuaran), beribukota di Imbanagara • Kerajaan Galuh Kalingga yang berlokasi di Bojong, beribukota di Karangkamulyan.
Van der Meulen (1988): (Indonesia di Ambang Sejarah - Kanisius) menyatakan bahwa pendatang- pendatang dari tanah Kutai dating ke tanah Jawa jauh sebelum abad ke 3 Masehi. Pendatang- pendatang itu masuk dari pantai Cirebon dan menetap di pedalaman sekitar gunung Cerme, gunung Slamet dan lembah sungai Serayu.
Kerajaan Galuh Purba dibangun oleh pendatang yang menetap di kawasan Slamet (Ratu Galuh), kemungkinan kerajaan bernama Galuh Sinduala ( Bojong Galuh) dan beribukota di Medang Gili (78 M) Namun ini masih di ragukan karena Bahasa dan tulisan sansekerta belum di kenal luas pada jaman itu. Pada abad 1 – 6 banyak kerajaan yang memakai kata Galuh selain kerajaan Galuh Purba di Jawa. Diantaranya: • Kerajaan Galuh Rahyang yang berlokasi di Brebes, beribukota di Medang Pangramesan • Kerajaan Galuh Kalangon yang berlokasi di Roban, beribukota di Medang Pangramesan • Kerajaan Galuh Lalean yang berlokasi di Cilacap, beribukota di Medang Kamulan • Kerajaan Galuh Tanduran yang berlokasi di Pananjung, beribukota di Bagolo • Kerajaan Galuh Kumara yang berlokasi di Tegal, beribukota di Medangkamulyan • Kerajaan Galuh Pataka yang berlokasi di Nanggalacah, beribukota di Pataka • Kerajaan Galuh Nagara T engah yang berlokasi di Cineam, beribukota di Bojonglopang • Kerajaan Galuh Imbanagara yang berlokasi di Barunay (Pabuaran), beribukota di Imbanagara • Kerajaan Galuh Kalingga yang berlokasi di Bojong, beribukota di Karangkamulyan.
Kerajaan Galuh Purba mempunyai wilayah yang sangat luas dari Indramayu, Cirebon, Brebes,
Tegal, Pemalang, Bumiayu, Banyumas, Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen dan juga ada
yang menyatakan sampai Kedu, Kulonprogo juga Purwodadi.
Pada Babad Pustaka Rajya-Rajya i Bhumi Nusantara (tulisan Pangeran Wangsakerta dari Cirebon) mengatakan bahwa 3 wangsa yang yang berkembang pada abad VII – VIII adalah Wangsa Kalingga, Wangsa Sanjaya dan Wangsa Sailendra, yang juga ada kesamaan dengan tulisan Fruin-Mees : Geschiedenis van Java, 1919, halaman 16-20.
Yang berarti bahwa Kerajaan Galuh Kalingga yang sebelumnya merupakan bagian kerajaan Galuh Purba, nantinya akan berkembang pesat dan pamornya mengalahkan Kerajaan Galuh Purba. Apalagi setelah pusat kerajaan Galuh Purba berpindah ke Garut – Kawali (Prasasti Bogor) dan menjadi bawahan Kerajaan Tarumanegara pada masa pemerintahan Purnawarman (395 -434 M).
Kerajaan Tarumanegara
Abad IV - Abad VII Kerajaan ini berkuasa di Jawa bagian barat, dan beribukota di Sundapura (Bekasi), dan merupakan kelanjutan dari kerajaan Salaknegara (130 - 362 M). Kerajaan ini adalah kerajaan Hindu tertua di pulau Jawa yang beralirah Hindu Wisnu. Menurut sejarah bahwa kekuasaan hanya di sekitar Banten, Jakarta, Bogor dan Bekasi namun luas pengaruhnya hingga daerah Tegal (Galuh Kumara), Banyumas (Galuh Purba) dan Bagelan.
Kerajaan Galuh-Kawali
Abad III – Abad VI Kerajaan Galuh Purba berpindah ke Garut – Kawali (Prasasti Bogor) dan menjadi bawahan Kerajaan
T arumanegara pada masa pemerintahan Purnawarman (395 - 434 M).
Kerajaan Kalingga – Mataram Kuna
Pada Babad Pustaka Rajya-Rajya i Bhumi Nusantara (tulisan Pangeran Wangsakerta dari Cirebon) mengatakan bahwa 3 wangsa yang yang berkembang pada abad VII – VIII adalah Wangsa Kalingga, Wangsa Sanjaya dan Wangsa Sailendra, yang juga ada kesamaan dengan tulisan Fruin-Mees : Geschiedenis van Java, 1919, halaman 16-20.
Yang berarti bahwa Kerajaan Galuh Kalingga yang sebelumnya merupakan bagian kerajaan Galuh Purba, nantinya akan berkembang pesat dan pamornya mengalahkan Kerajaan Galuh Purba. Apalagi setelah pusat kerajaan Galuh Purba berpindah ke Garut – Kawali (Prasasti Bogor) dan menjadi bawahan Kerajaan Tarumanegara pada masa pemerintahan Purnawarman (395 -434 M).
Kerajaan Tarumanegara
Abad IV - Abad VII Kerajaan ini berkuasa di Jawa bagian barat, dan beribukota di Sundapura (Bekasi), dan merupakan kelanjutan dari kerajaan Salaknegara (130 - 362 M). Kerajaan ini adalah kerajaan Hindu tertua di pulau Jawa yang beralirah Hindu Wisnu. Menurut sejarah bahwa kekuasaan hanya di sekitar Banten, Jakarta, Bogor dan Bekasi namun luas pengaruhnya hingga daerah Tegal (Galuh Kumara), Banyumas (Galuh Purba) dan Bagelan.
Kerajaan Galuh-Kawali
Abad III – Abad VI Kerajaan Galuh Purba berpindah ke Garut – Kawali (Prasasti Bogor) dan menjadi bawahan Kerajaan
T arumanegara pada masa pemerintahan Purnawarman (395 - 434 M).
Keturunan Galuh Kawali banyak yang kawin dengan keturunan kerajaan Kalingga, sehingga
menyebabkan raja-rajanya banyak keturunan kerajaan kalingga. Setelah pusat kerajaan di pidah ke
Garut, pengaruh kebudayaan makin lama makin pudar dan berganti pengaruh dari kerajaan
kalingga.
Kerajaan Tarumanegara mulai pudar pada masa pemerintahan Prabu Tarusbawa 669 M, dan Kerajaan Galuh – Kawali sudah menjadi Kerajaan yang kuat dan banyak dari keturunannya yang kawin dengan keturunan kerajaan Kalingga. Sehingga Raja Galuh Wretikandayun berani meuntuk kekuasaan dari Kerajaan Tarumanegara. Raja Galuh Wretikandayun menjadi Raja Galuh yang merdeka, waktu Prabu T arusbawa mewariskan tahta T arumanegara lewat Putri Manasih, istrinya (putri pertama Prabu Linggawarman). Tarumanegara kemudian menjadi kerajaan Sunda dan memindahkan pusat pemerentahan ke Sundapura agar pamornya naik lagi, namun ini menjadi alasan Wretikandayun untuk memisahkan Kerajaan Galuh - Kawali menjadi Kerajaan Galuh, dan meminta dukungan Kerajaan Kalingga (Kerajaan Besan). Karena Putra Mahkota Kerajaan Galuh yaitu Rahiyang Mandiminyak menikah dengan Putri Maharani Shima bernama Parwati.
Wilayah Kerajaan Galuh antara Sungai Citarum dan Sungai Cipamali sebelah barat gunung Slamet. Jadi kemungkinan wilayah selatan gunung Slamet merupakan wilayah Kerajaan Kalingga
Kerajaan Tarumanegara mulai pudar pada masa pemerintahan Prabu Tarusbawa 669 M, dan Kerajaan Galuh – Kawali sudah menjadi Kerajaan yang kuat dan banyak dari keturunannya yang kawin dengan keturunan kerajaan Kalingga. Sehingga Raja Galuh Wretikandayun berani meuntuk kekuasaan dari Kerajaan Tarumanegara. Raja Galuh Wretikandayun menjadi Raja Galuh yang merdeka, waktu Prabu T arusbawa mewariskan tahta T arumanegara lewat Putri Manasih, istrinya (putri pertama Prabu Linggawarman). Tarumanegara kemudian menjadi kerajaan Sunda dan memindahkan pusat pemerentahan ke Sundapura agar pamornya naik lagi, namun ini menjadi alasan Wretikandayun untuk memisahkan Kerajaan Galuh - Kawali menjadi Kerajaan Galuh, dan meminta dukungan Kerajaan Kalingga (Kerajaan Besan). Karena Putra Mahkota Kerajaan Galuh yaitu Rahiyang Mandiminyak menikah dengan Putri Maharani Shima bernama Parwati.
Wilayah Kerajaan Galuh antara Sungai Citarum dan Sungai Cipamali sebelah barat gunung Slamet. Jadi kemungkinan wilayah selatan gunung Slamet merupakan wilayah Kerajaan Kalingga
Abad V – Abad IX
Kerajaan Kalingga atau Kerajaan Ho-ling merupakan kerajaan Budha yang di pimpin oleh Ratu Sima
atau Putri Maharani Shima (tahun 674 M) salah satu pendirinya merupakan keturunan dari Negara
bagian Orrisa di India.
Setelah Maharani Shima meninggal di tahun 732 M, Sanjaya menggantikan buyutnya dan menjadi raja Kerajaan Kalingga Utara yang kemudian disebut Bhumi Mataram, dan kemudian mendirikan Wangsa Sanjaya di Kerajaan Medang. Kerajaan Kalingga (Budha) berubah menjadi Medang (Hindu beraliran Siwa) yang dipimpin Raja Sanjaya atau Rakai Mataram pada Tahun 732 M ( Prasasti Canggah), ibukota Kerajaan berada di Medang Kemulan. Candi-candi Siwa (Hindu) di Dieng Banjarnegara dibangun pada masa ini.
Menurut teori van Naerssen, pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran (pengganti Sanjaya sekitar tahun 770-an), kekuasaan atas Medang dikuasai dan direbut oleh Wangsa Sailendra yang beragama Buddha Mahayana. Mulai saat itu Wangsa Sailendra berkuasa di Pulau Jawa, bahkan berhasil pula menguasai Kerajaan Sriwijaya di Pulau Sumatra. Pada tahun 778 Candi Kalasan (Budha) di bangun untuk menghormati dewi Tara. Juga mahakarya terbesar Borobudur yang di perkirakan dibangun antara 750M dan selesai dibangun pada masa pemerintahan raja Samaratungga (812-833). Sampai akhirnya, sekitar tahun 840-an, seorang keturunan Sanjaya bernama Rakai Pikatan berhasil menikahi Pramodawardhani putri mahkota Wangsa Sailendra. Berkat perkawinan itu ia bisa menjadi raja Medang, dan memindahkan istananya ke Mamrati di daerah Kedu.
Menurut teori van Bammelen Letusan Merapi yang dahsyat menyebabkan pusat kerajaan Medang pindah ke Jawa Timur.
Antara abad sembilan hingga duabelas, tidak ada catatan sejarah yang menerangkan tentang daerah selatan Gunung Slamet. Baru setelah kebangkitan Majapahit yang pernah mencapai masa keemasan dengan menguasai seluruh Jawa, yang berarti bahwa wilayah Gunung Slamet bagian selatan merupakan wilayah kekuasaannya juga.
Perlu Diingat ! 0 - 600 M (Hindu-Buddha pra-Mataram)
Salakanagara Tarumanagara Sunda-Galuh Kalingga Kanjuruhan 600 - 1500 M (Hindu-Buddha)
Mataram Hindu Kahuripan Janggala
Kadiri Singasari Majapahit Pajajaran Blambangan
1500 M - sekarang (Islam)
Setelah Maharani Shima meninggal di tahun 732 M, Sanjaya menggantikan buyutnya dan menjadi raja Kerajaan Kalingga Utara yang kemudian disebut Bhumi Mataram, dan kemudian mendirikan Wangsa Sanjaya di Kerajaan Medang. Kerajaan Kalingga (Budha) berubah menjadi Medang (Hindu beraliran Siwa) yang dipimpin Raja Sanjaya atau Rakai Mataram pada Tahun 732 M ( Prasasti Canggah), ibukota Kerajaan berada di Medang Kemulan. Candi-candi Siwa (Hindu) di Dieng Banjarnegara dibangun pada masa ini.
Menurut teori van Naerssen, pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran (pengganti Sanjaya sekitar tahun 770-an), kekuasaan atas Medang dikuasai dan direbut oleh Wangsa Sailendra yang beragama Buddha Mahayana. Mulai saat itu Wangsa Sailendra berkuasa di Pulau Jawa, bahkan berhasil pula menguasai Kerajaan Sriwijaya di Pulau Sumatra. Pada tahun 778 Candi Kalasan (Budha) di bangun untuk menghormati dewi Tara. Juga mahakarya terbesar Borobudur yang di perkirakan dibangun antara 750M dan selesai dibangun pada masa pemerintahan raja Samaratungga (812-833). Sampai akhirnya, sekitar tahun 840-an, seorang keturunan Sanjaya bernama Rakai Pikatan berhasil menikahi Pramodawardhani putri mahkota Wangsa Sailendra. Berkat perkawinan itu ia bisa menjadi raja Medang, dan memindahkan istananya ke Mamrati di daerah Kedu.
Menurut teori van Bammelen Letusan Merapi yang dahsyat menyebabkan pusat kerajaan Medang pindah ke Jawa Timur.
Antara abad sembilan hingga duabelas, tidak ada catatan sejarah yang menerangkan tentang daerah selatan Gunung Slamet. Baru setelah kebangkitan Majapahit yang pernah mencapai masa keemasan dengan menguasai seluruh Jawa, yang berarti bahwa wilayah Gunung Slamet bagian selatan merupakan wilayah kekuasaannya juga.
Perlu Diingat ! 0 - 600 M (Hindu-Buddha pra-Mataram)
Salakanagara Tarumanagara Sunda-Galuh Kalingga Kanjuruhan 600 - 1500 M (Hindu-Buddha)
Mataram Hindu Kahuripan Janggala
Kadiri Singasari Majapahit Pajajaran Blambangan
1500 M - sekarang (Islam)
Sepintas lalu pohon ini tampak seperti pohon biasa, namun demikian bila anda cermati lebih dekat secara langsung pohon ini mempunyai warna yang khas coklat kekuningan layaknya logam tembaga.
Pohon ini merupakan “prasasti” hidup sejarah Banyumas, karena menurut babad dan cerita sejarah Banyumas dari sini titik tonggak sejarah dimulainya / dibangunnya Kabupaten Banyumas . Pohon ini terletak di daerah yang pertama kali dibangun sebagai pusat pemerintahan Kabupaten Banyumas di hutan Mangli daerah Kejawar dan sekarang terletak di Desa Kalisube Grumbul Mangli, Kecamatan Banyumas.
Tempat awal pemerintahan dan nama Banyumas.
Menurut penelitian, maka hutan Mangli daerah Kejawar sebagai tempat pertama dibangunnya pusat pemerintahan Adipati Wargo Oetomo II (Djoko Kahiman / Adipati Mrapat) setelah meninggalkan Wirasaba.
Menurut riwayat yang juga dipercayai masyarakat, beliau menerima wisik
supaya pergi ke suatu tempat tumbuhnya pohon Tembaga. Di hutan Mangli inilah diketemukan pohon Tembaga yang dimaksud ; yaitu di sebelah Timur pertemuan sungai Pasinggangan dan sungai Banyumas. Kemudian mulailah dibangun tempat tersebut sebagai pusat pemerintahan dengan dibiayai oleh Kjai Mranggi Semu di Kejawar.
Menurut penelitian, maka hutan Mangli daerah Kejawar sebagai tempat pertama dibangunnya pusat pemerintahan Adipati Wargo Oetomo II (Djoko Kahiman / Adipati Mrapat) setelah meninggalkan Wirasaba.
Menurut riwayat yang juga dipercayai masyarakat, beliau menerima wisik
supaya pergi ke suatu tempat tumbuhnya pohon Tembaga. Di hutan Mangli inilah diketemukan pohon Tembaga yang dimaksud ; yaitu di sebelah Timur pertemuan sungai Pasinggangan dan sungai Banyumas. Kemudian mulailah dibangun tempat tersebut sebagai pusat pemerintahan dengan dibiayai oleh Kjai Mranggi Semu di Kejawar.
Ketika sedang sibuk-sibuknya membangun pusat pemerintahan itu, kebetulan
pada waktu itu ada sebatang kayu besar hanyut di sungai Serayu. Pohon tersebut namanya pohon Kayu Mas yang setelah diteliti berasal dari Desa Karangjambu (Kecamatan Kejobong, Bukateja, Kabupaten Purbalinga), sekarang sebelah timur Wirasaba. Anehnya kayu tersebut terhenti di sungai Serayu dekat lokasi pembangunan pusat pemerintahan. Adipati Marapat tersentuh hatinya melihat kejadian tersebut, kemudian berkenan untuk mengambil Kayu Mas tersebut untuk dijadikan Saka Guru. Karena kayu itu namanya Kayu Mas dan hanyut terbawa air (banyu), maka pusat emerintahan yang dibangun ini kemudian diberi nama Banyumas (perpaduan antara air (banyu) dan (Kayu Mas).
pada waktu itu ada sebatang kayu besar hanyut di sungai Serayu. Pohon tersebut namanya pohon Kayu Mas yang setelah diteliti berasal dari Desa Karangjambu (Kecamatan Kejobong, Bukateja, Kabupaten Purbalinga), sekarang sebelah timur Wirasaba. Anehnya kayu tersebut terhenti di sungai Serayu dekat lokasi pembangunan pusat pemerintahan. Adipati Marapat tersentuh hatinya melihat kejadian tersebut, kemudian berkenan untuk mengambil Kayu Mas tersebut untuk dijadikan Saka Guru. Karena kayu itu namanya Kayu Mas dan hanyut terbawa air (banyu), maka pusat emerintahan yang dibangun ini kemudian diberi nama Banyumas (perpaduan antara air (banyu) dan (Kayu Mas).
Riwayat singkat Raden Djoko Kahiman (Adipati Marapat).
Riwayat Djoko Kahiman atau Raden Djoko Semangoen adalah putra Raden Harjo Banjaksosro Adipati Pasir Luhur yang sejak kecil diasuh dan diambil anak angkat oleh Kjai dan Njai Mranggi Semoe di Kejawar. Kjai Mranggi sebenarnya namanya adalah Kjai Sambarta dan Njai Mranggi adalah Njai Ngaisah.
Setelah Raden Djoko Kahiman dewasa lalu mengabdikan dirinya pada Kjai adipati Wirasaba yang bernama Adipati Wargo Oetomo I dan akhirnya Raden Djoko Kahiman menjadi menantu Wargo Oetomo I, dinikahkan dengan putri sulungnya yang bernama Rara Kartimah.
Setelah Raden Djoko Kahiman dewasa lalu mengabdikan dirinya pada Kjai adipati Wirasaba yang bernama Adipati Wargo Oetomo I dan akhirnya Raden Djoko Kahiman menjadi menantu Wargo Oetomo I, dinikahkan dengan putri sulungnya yang bernama Rara Kartimah.
Suatu ketika Adipati Wirasaba mendapat titah Sultan agar mempersembahkan salah seorang putrinya untuk dijadikan garwa ampean. Oleh Sang Adipati dipersembahkan putri bungsunya yang bernama Rara Soekartijah, yang pada masa kecilnya pernah dijodohkan
dengan putra saudaranya yaitu Ki Ageng Tojareka, namun setelah dewasa Rara Soekartijah menolak untuk berumah tangga dan bercerai sebelum berkumpul.
dengan putra saudaranya yaitu Ki Ageng Tojareka, namun setelah dewasa Rara Soekartijah menolak untuk berumah tangga dan bercerai sebelum berkumpul.
Sakit hati Ki Ageng Tojareka kemudian membuat fitnah yang menyebabkan murka Sultan Pajang dan menyuruh Gandek supaya membunuh Adipati Wirasaba dalam perjalanan pulang tanpa penelitian terlebih dahulu. Tetapi sesudah diteliti menyesallah Sultan Pajang, kemudian menyuruh Gandek untuk menyusul Gandek terdahulu supaya membatalkan rencana membunuh Adipati Wargo Oetomo I, namun sudah terlambat. Tempat terjadinya di Desa Bener, maka Adipati Wargo Oetomo I juga terkenal dengan sebutan Adipati Sedo Bener, sedangkan makam beliau di pasarehan Pakiringan, sebelah timur kota Banyumas, sekarang masuk wilayah Purworejo Klampok.
Penyesalan Sultan Pajang kemudian menitahkan memanggil putra Adipati Wirasaba supaya menghadap ke Kesultanan Pajang, namun semua putra Wargo Oetomo I tidak ada yang berani menghadap, akhirnya dengan jiwa heroik dan patriotis karena anggapannya akan dibunuh juga, berangkatlah Raden Djoko Kahiman menghadap Sultan Pajang. Di luar dugaan Raden Djoko Kahiman malah diangkat menjadi Adipati Wirasaba VII dengan gelar Adipati Wargo Oetomo II untuk menggantikan Adipati Wargo Oetomo I yang telah wafat karena kesalahpahaman. Sultan Pajang memberikan segala kebijaksanaan Kadipaten Wirasaba kepada Wargo Oetomo II.
Dengan kebesaran jiwanya Adipati Wargo Oetomo II tidak ingin mementingkan dirinya sendiri (mukti sendiri), karena beliau adalah anak
mantu, maka mohon restu agar diperkenankan untuk membagi daerah
kekuasaan Wirasaba menjadi 4 daerah.
Penyesalan Sultan Pajang kemudian menitahkan memanggil putra Adipati Wirasaba supaya menghadap ke Kesultanan Pajang, namun semua putra Wargo Oetomo I tidak ada yang berani menghadap, akhirnya dengan jiwa heroik dan patriotis karena anggapannya akan dibunuh juga, berangkatlah Raden Djoko Kahiman menghadap Sultan Pajang. Di luar dugaan Raden Djoko Kahiman malah diangkat menjadi Adipati Wirasaba VII dengan gelar Adipati Wargo Oetomo II untuk menggantikan Adipati Wargo Oetomo I yang telah wafat karena kesalahpahaman. Sultan Pajang memberikan segala kebijaksanaan Kadipaten Wirasaba kepada Wargo Oetomo II.
Dengan kebesaran jiwanya Adipati Wargo Oetomo II tidak ingin mementingkan dirinya sendiri (mukti sendiri), karena beliau adalah anak
mantu, maka mohon restu agar diperkenankan untuk membagi daerah
kekuasaan Wirasaba menjadi 4 daerah.
Menurut penelitian dan hasil seminar, hari, tanggal, bulan, tahun diangkatnya Raden Djoko Kahiman menjadi Adipati Wirasaba VII yang bergelar Adipati Wargo Oetomo II adalah : Jumat Kliwon, tanggal 12 Rabiul awal 990 H bertepatan dengan tanggal 6 April 1582 M.
Sekembalinya dari Pajang maka Raden Djoko Kahiman yang telah
diangkat menjadi Adipati Wirasaba VII, beliau membagi daerah
kekuasaannya menjadi empat, yaitu :
1. Banjar Pertambakan diberikan kepada Kjai Ngabehi Wirojoedo.
2. Merden diberikan kepada Kjai Ngabehi Wirokoesoemo.
3. Wirasaba diberikan kepada Kjai Ngabehi Wargowidjojo.
4. Sedangkan beliau merelakan kembali ke Kejawar dengan maksud
mulai membangun pusat pemerintahn yang baru.
Sekembalinya dari Pajang maka Raden Djoko Kahiman yang telah
diangkat menjadi Adipati Wirasaba VII, beliau membagi daerah
kekuasaannya menjadi empat, yaitu :
1. Banjar Pertambakan diberikan kepada Kjai Ngabehi Wirojoedo.
2. Merden diberikan kepada Kjai Ngabehi Wirokoesoemo.
3. Wirasaba diberikan kepada Kjai Ngabehi Wargowidjojo.
4. Sedangkan beliau merelakan kembali ke Kejawar dengan maksud
mulai membangun pusat pemerintahn yang baru.
Berdasarkan penelitian sejarah ditetapkan Hari Jadi Kabupaten Banyumas adalah hari Jumat Kliwon, tanggal 12 Rabiul awal 990 Hijriyah bertepatan dengan 6 April 1582 Masehi. (sumber : sejarah Banyumas)
Diceritakan Raden Haryo Baribin dan beberapa abdinya yang setia melarikan diri dari Kerajaan Majapahit, demi mendengar sang kakak, yaitu Prabu Brawijaya V memerintahkan orang untuk membunuhnya. Prabu Brawijaya V merasa khawatir karena Raden Haryo Baribin sangat disegani di kalangan istana. Dia takut kalau-kalau pada suatu ketika adiknya ini akan merebut tahtanya.
Dalam pelariannya, sampailah Raden Baribin di kerajaan Pajajaran yang kala itu diperintah oleh Prabu Siliwangi. Mendengar berita kedatangan adik raja Majapahit tersebut, Prabu Siliwangi memberikan suaka kepada Raden Haryo Baribin. Hingga pada akhirnya Raden Haryo Baribin menetap dan dinikahkan dengan Dewi Retna Pamekas, adik dari Prabu Siliwangi.
Dari pernikahannya ini, Raden Haryo Baribin dikaruniai tiga orang putra dan seorang putri. Putra pertama, yaitu Raden Jaka Katuhu, dikemudian hari menjadi bupati Wirasaba (wilayah Purbalingga), Putra kedua, yaitu Raden Banyak Sasra, wafat diusia muda dan meninggalkan putra yang masih kecil, Raden Jaka Kahiman. Putra ketiga, Raden Banyak Kumara, dan putri keempat, Rara Ngaisah, dikemudian hari dijadikan istri oleh Kiai Mranggi Kejawar. Dialah yang membesarkan kemenakannya, Jaka Kahiman, yang ditinggal wafat oleh ayahnya.
Raden Jaka Kahiman inilah yang pada masanya, dianggap sebagai bupati Banyumas, yang menurunkan bupati-bupati 12 keturunan.
Kisah Raden Jaka Kahiman.
Pada suatu hari, Prabu Linggakarang dari Kerajaan Bonokeling, ingin menguji kesaktian Prabu Brawijaya V. Diutusnya seorang patih bernama Ki Tolih ke Majapahit. Ki Tolih pun berangkat dengan mengendarai seekor burung besar (sejenis garuda) yang dinamai burung Mahendra. Dan bersenjatakan keris tanpa sarung.
Pada waktu itu, Prabu Brawijaya mempunyai firasat yang tidak baik. Dia memerintahkan untuk menutup semua sumur dan mata air di Majapahit. Tetapi, ada satu sumur yang tidak di tutup, yaitu sumur di daerah kepatihan yang dijaga oleh Raden Arya Gajah.
Sesampainya di Majapahit, burung Mahendra kehausan. Setelah mencari kesana kemari, sampailah mereka di sumur yang terletak di kepatihan. Begitu burung Mahendra hendak minum dari sumur tersebut, tiba-tiba dihadang oleh Raden Arya Gajah dan dibunuh. Ki Tolih pun ditangkap.
Ketika Ki Tolih akan diadili dihadapan raja, tiba-tiba kuda milik Prabu Brawijaya terlepas dan memberontak. Tidak ada seorangpun yang dapat menangkapnya. Melihat itu, Ki Tolih memohon untuk membantu asalkan ia diberi tali kekang burung Mahendra Prabu Brawijaya mengijinkan dengan syarat bila berhasil, Ki Tolih akan dibebaskan dan diangkat menjadi pembesar Majapahit. Tetapi bila gagal, dia akan dihukum mati.
Dan benar saja, begitu kuda raja, yang dinamai Kiai Joyotopo, melihat tali kekang burung Mahendra di tangan Ki Tolih, langsung jinak kembali. Prabu Brawijaya masih belum begitu saja mempercayai Ki Tolih. Dilepasnya seekor singa buas. Ternyata singa itu pun langsung jinak begitu melihat tali kekang tadi.
Sesuai janji Prabu Brawijaya, Ki Tolih dibebaskan, tetapi dia menolak menerima hadiah dan jabatan. Dia memilih menetap di Majapahit. Permintaan Ki Tolih dikabulkan. Keris miliknya pun, yang tanpa sarung, juga dikembalikan pada Ki Tolih.
Setelah beberapa lama menetap di Majapahit, Ki Tolih berniat memesan sarung (wrangka) untuk kerisnya. Dia pergi ke daerah Banyumas dan menemui seorang ahli keris, Kiai Mranggi Kejawar.
Kiai Mranggi Kejawar, yang tak lain adalah ayah angkat Raden Jaka Kahiman, menyanggupi membuat sarung untuk keris Ki Tolih. Namun tiba-tiba keris itu hilang saat diserahkan kepada Kiai Mranggi Kejawar. Mereka berdua terperanjat. Kemudian Ki Tolih mengatakan bahwa mungkin keris itu memang bukan haknya.
Pada saat yang bersamaan, Raden Jaka Kahiman yang sedang dalam perjalanan dari Wirasaba menuju Kejawar, ke rumah orang tua angkatnya, untuk memberitahukan rencana pernikahannya dengan putri Adipati Wirasaba. Tiba-tiba ia merasakan sesuatu menyelinap di ikat pinggangnya. Ternyata itu adalah sebilah keris tanpa sarung. Dia sangat keheranan.
Sesampainya di Kejawar, Kiai Mranggi dan Ki Tolih yang masih ada di sana terheran-heran melihat Jaka Kahiman dating memakai keris tanpa sarung yang ternyata keris milik Ki Tolih.
Ketika ditanyakan oleh Ki Tolih, apakah Jaka Kahiman menyukai keris tadi, Jaka Kahiman mengatakan kalau dia amat suka dengan keris itu, tetapi tidak mau memilikinya karena bukan haknya.
Ki Tolih dengan iklas memberikan keris itu kepada Jaka Kahiman dan berpesan agar dipakai pada saat upacara pernikahannya.
Demikianlah, Raden Jaka Kahiman selain sebagai seorang yang “terpilih”, dia adalah seorang yang jujur dan baik hatinya.
Keberadaan sejarah Kabupaten Banyumas sebagai pendirinya yang pertama adalah Raden Joko Kahiman yang kemudian meniadi Bupati yang pertama dikenal dengan julukan atau gelar ADIPATI MARAPAT (ADIPATI MRAPAT).
Riwayatnya diawali dari jaman Pemerintahan Kesultanan PAJANG ( 1568-1587 ), yang didirikan oleh Joko Tingkir. Pajang sebelumnya merupakan daerah kadipaten di bawah Kesultanan Demak. Kesultanan pajang terletak di daerah kartasura (dekat surakarta atau solo), Jawa tengah. Kesultanan ini merupakan kerajaan islam pertama yang terletak di daerah pedalaman. Sebelumnya, kerajaan islam selalu berada di daerah pesisir, karena islam datang melalui para pedagang dari asia barat yang berlabuh di pesisir. Sultan pertama pajang adalah mas kerebet. Ia berasal dari pangging, desa di lereng Gunung Merapi sebelah tenggara. Mas kerebet adalah anak penguasa pengging terakhir, handayaningrat, yang dihukum mati oleh sultan Kudus. Hukuman mati itu diberikan karena Handayaningrat mengikuti ajaran syekh Siti Jenar yang dianggap sesat. Mas karebet memiliki nama lain, yakni Jaka Tingkir. Tingkir adalah nama tempat mas Kerebet dibesarkan. Syahdan, seekor banteng mengamuk di demak. Sebuah sayembara pun diadakan di Demak. Kesultanan demak menyatakan bahwa siapa saja yang dapat menaklukkan banteng itu, akan diangkat sebagai punggawa kesultanan. Jaka tingkir mengikuti sayembara tersebut, dan ia berhasil melumpuhkan si banteng. Karenanya, Jaka Tingkir diterima mengabdi, bahkan kemudian menjadi menantu Sultan Trenggana dan diberi sebuah wilayah bernama pajang, dengan Jaka Tikir sebagai adipatinya.
Setelah sultan trenggana meninggal pada tahun 1546, anaknya yang bernama Sunan Prawoto diangkat sebagai penggantinya. Akan tetapi, ia kemudian meninggal terbunuh dalam perebutan kekuasaan oleh keponakannya sendiri, yaitu Arya Panangsang.
Selanjutnya, Arya Penangsang menjadi penguasa demak. Namun karena kadipaten pajang juga telah beranjak kuat dan memiliki wilayah yang luas terjadilah pertentangan antara jaka tingkir dan arya penangsang. Dengan bantuan dari kadipaten-kadipaten lainnya yang juga tidak menyukai arya penangsang, jaka tingkir akhirnya berhasil membunuh Arya Penangsang.
Kisah menaklukan arya penangsang terekam di dalam cerita babad, tentu saja dengan bumbu-bumbus mitos. Dikisahkan dalam Babad Tanah Jawi, Jaka Tingkir mendapat bantuan dari tiga orang yaknik Ki Ageng Pemanahan, Ki Penjawi, Ki Juru Mertani. Arya Penangsang terkenal sakti, karena merupakan murid utama sunan Kudus, senapati perang kerajaan demak. Untuk menghadapi kesaktian penangsang, ketiga orang itu membuat strategi.
Taktik dijalankan, awalnya dengan menangkap dan melukai telinga kuda kesayangan Arya Penangsang, Gagak Rimang. Kuda itu kemudian dikembalikan ke kandangnya. Mengetahui hal itu, Arya Penangsang sangat murka, dan langsung mencari yang dianggap bertanggung jawab.
Dilihatnya, orang yang melekuia Gagang Rimang lari ke tepi Bengawan Solo, Maka arya penangsang mengejarnya. Di sana pasukan ki pemanahan, Ki Penjawi, dan Ki Juru Martani sudah menunggu. Saat itu danang Sutawijaya anak ki Gede Mataram, sudah menunggu di balik gerumul semak di seberang sungai.
Ketika Arya penangsang tiba di tepi bengawan, diseberang dilepaskan seekor kuda betina. Maka, gagak rimang langsung mengejar kuda betina tersebut tanpa bisa dikendalikan, dan menyeberangi bengawan solo. Di seberang bengawan, Danang Sutawijaya sudah siap, menghunus tombank Kyai Plered. Begitu posisi dekat, Arya Penangsang ditikam dengan tombak di tangan Sutawijaya. Ia terjatuh, ususnya terburai. Namun, arya penangsang bangkit lagi, dan melilitkan ususnya di kerisnya, Kyai Setan Kober. Lantas ia menerjang sutawijaya, sambil menghunus kerisnya. Tetapi ia lupa, keris sakitnya terlilit ususnya sendiri, hingga malah menggores ususnya itu. arya penangsang tewas seketika.
Sebagai raja pajang, jaka tingkir bergelar Sultan Hadiwijaya (1568 – 1582). Gelar itu disahkan oleh sunan Giri, dan segera mendapat pengakuan dari para adipati di jawa tengah dan jawa timur. Sebagai langkah pertama peneguhan kekuasaan, hadiwijaya memerintahkan agar semua benda pusaka demak dipindahkan ke Pajang. Setelah itu, ia menjadi salah satu raja yang paling berpengaruh di Jawa. Kerajaan
Pajang (1568–1587) hanya memiliki tiga Raja dan raja yang terakhir adalah Pangeran
Benawa yang berkuasa sampai tahun 1587 M.
Saat Adipati Warga Utama I menjabat mempunyai banyak panakawan yang diambil dari para
petinggi dan kadipaten Wirasaba. Para panakawan tidur di halaman. Pada suatu malam pada saat
bulan purnama, Adipati Warga Utama melihat cahaya masuk ke dalam tubuh salah seorang
panakawan yang tidak dikenali oleh Sang Adipati. Oleh karena itu, Sang Adipati merobek bebed
panakawan tersebut untuk mengenalinya. Pada pagi harinya, panakawan yang di sobek bebednya
dipanggil, ternyata punakawan tersebut adalah Jaka kaiman punakawan dari Kejawar dan setelah itu
diberitahunya bahwa ia akan dijadikan menantu. Jaka Kaiman akan dinikahkan dengan puteri Adipati
Warga Utama yang bernama Rara Kartimah dan uang lima riyal sebagai pitukon.
Jaka Kaiman disuruh pulang oleh Sang Adipati agar memberitahukan ayahnya dan diikuti oleh dua
orang utusan dari Wirasaba. Karena tidak mampu, Kiai Mranggi Kejawar (ayah angkat Jaka Kaiman)
meminta bantuan keuangan kepada Banyak Kumara di Kaleng. Sebenarnya Joko Kaiman adalah
putera Raden Banyak Cotro dengan ibu adalah puteri Adipati Banyak Geleh
(Wirakencana/Mangkubumi II) dari Pasir Luhur. Semenjak kecil Raden Joko Kaiman diasuh oleh Kyai
Mranggi di Kejawar, yang terkenal dengan nama Kyai Sembarta dengan Nyi Ngaisah yaitu puteri
Raden Baribin yang bungsu.
Di situ, Kiai Mranggi berjumpa dengan Ki Tolih. Ki Tolih adalah utusan Raja Negeri Keling untuk membunuh raja Majapahit Brawijaya. Namun usaha itu gagal, bahkan Ki Tolih dapat di tawan oleh Ki Gajah. Pada saat bersamaan Raja Brawijaya mengadakan sayembara untuk menangkap kudanya
Maka dengan angkara murka diutuslah tiga gandek untuk membunuh Adipati Warga Utama I yang dalam perjalanan pulang ke Wirasaba. Ditengah perjalanan Adipati Warga Utama I memutuskan untuk sekedar mampir di rumah Ki Ageng Bener di desa Bener, Ambal Kebumen. Disana Adipati Warga Utama I di terima di bale malang dan di jamu Pindang Banyak. Karena jaraknya tidak terlalu jauh, ketiga gandek utusan sultan Pajang sampai di rumah Ki Ageng Bener saat Adipati sedang makan jamuan pindang banyak.
Beberapa saat setelah Sultan Pajang mengirim gandek yang pertama, Sultan baru menanyai Raden Rara Sukartiyah. Dan ternyata Sultan salah besar, Raden Rara Sukartiyah sudah diceraikan oleh Adipati Warga Utama I dari Raden Mangun anak Ki Demang Toyareka, karena hubungan terlarang dalam Islam (menikah dengan sepupu). Maka dengan segera Sultan mengirim gandek untuk membatalkan pembunuhan terhadap Adipati Wirasaba.
Di situ, Kiai Mranggi berjumpa dengan Ki Tolih. Ki Tolih adalah utusan Raja Negeri Keling untuk membunuh raja Majapahit Brawijaya. Namun usaha itu gagal, bahkan Ki Tolih dapat di tawan oleh Ki Gajah. Pada saat bersamaan Raja Brawijaya mengadakan sayembara untuk menangkap kudanya
yang mengamuk di tengah kota Majapahit karena kerasukan roh Burung Endra yang mati dibunuh
oleh Ki Gajah. Dengan hadiah Tanah dan Putrinya. Sebagai seorang tawanan Ki Tolih
memberanikan diri untuk mengikuti sayembara tersebut, karena tak satupun orang yang
memenangkannya. Dengan mudah Ki Tolih menaklukan kuda yang kerasukan roh itu dan
memenangkan sayembara tersebut. Namun Ki T olih menolak semua hadiah yang di janjikan, tapi dia
meminta keris gajah Endra yang dibawanya dari negeri Keling. Setelah itu, Ki T olih mengembara
sampai ke daerah Kaleng dan mengabdi kepada Adipati kaleng, hingga di ceritakan setelah
pengabdiannya di Kaleng, rakyat hidup makmur.
Setelah mendengar cerita tentang Kadipaten Wirasaba dan tawaran dijadikan menantu oleh Adipati di Wirasaba, Ki T olih menghadiahkan Keris Gajah Endra Ke pada Jaka Kaiman dan memesankan warangka kerisnya kepada Kiai Mranggi ayahnya. Namun Ki T olih melarang membawa keris Gajah Endra ke medan pertempuran selama tujuh turunan, karena keris tersebut pernah dipake untuk usaha membunuh Brawijaya dan Penguasa Wirasaba ada kaitan erat dengan Brawijaya. Ki tolihpun meramalkan Jaka Kaiman akan menjadi Penguasa di Wirasaba dan akhirnya keris Gajah Endra di bawanya pulang ke Kejawar. Jaka kaiman kembali ke Wirasaba dan menikahi Rara Kartimah putri dari Adipati Warga Utama I.
Pada masa kekuasaan Sultan Adiwijaya (Sultan Pajang) memerintahkan kepada para Adipati di
seluruh kadipaten kekuasaannya untuk menyerahkan seorang putri untuk dijadikan pelara-lara.
Warga utama I memilih putrinya Raden Rara Sukartiyah/Sukesi (bekas menantu Ki Demang
T oyareka) untuk di persembahkan, dan pada Sabtu Paing mereka berangkat ke Pajang. Kemudian
anak Ki Demang Toyareka tahu dan marah-marah. Kemudian bersama-sama dengan pengawalnya
pergi ke Pajang untuk meminta keadilan. Putra Ki Demang T oyareka menyatakan kepada gandek
kesultanan Pajang bahwa istrinya di serahkan oleh Adipati Wirasaba untuk di jadikan pelara-lara.
Maka sampailah berita ini kepada Sultan Adiwijaya tanpa menanyakan dulu kepada Raden Rara
Sukartiyah.Setelah mendengar cerita tentang Kadipaten Wirasaba dan tawaran dijadikan menantu oleh Adipati di Wirasaba, Ki T olih menghadiahkan Keris Gajah Endra Ke pada Jaka Kaiman dan memesankan warangka kerisnya kepada Kiai Mranggi ayahnya. Namun Ki T olih melarang membawa keris Gajah Endra ke medan pertempuran selama tujuh turunan, karena keris tersebut pernah dipake untuk usaha membunuh Brawijaya dan Penguasa Wirasaba ada kaitan erat dengan Brawijaya. Ki tolihpun meramalkan Jaka Kaiman akan menjadi Penguasa di Wirasaba dan akhirnya keris Gajah Endra di bawanya pulang ke Kejawar. Jaka kaiman kembali ke Wirasaba dan menikahi Rara Kartimah putri dari Adipati Warga Utama I.
Maka dengan angkara murka diutuslah tiga gandek untuk membunuh Adipati Warga Utama I yang dalam perjalanan pulang ke Wirasaba. Ditengah perjalanan Adipati Warga Utama I memutuskan untuk sekedar mampir di rumah Ki Ageng Bener di desa Bener, Ambal Kebumen. Disana Adipati Warga Utama I di terima di bale malang dan di jamu Pindang Banyak. Karena jaraknya tidak terlalu jauh, ketiga gandek utusan sultan Pajang sampai di rumah Ki Ageng Bener saat Adipati sedang makan jamuan pindang banyak.
Beberapa saat setelah Sultan Pajang mengirim gandek yang pertama, Sultan baru menanyai Raden Rara Sukartiyah. Dan ternyata Sultan salah besar, Raden Rara Sukartiyah sudah diceraikan oleh Adipati Warga Utama I dari Raden Mangun anak Ki Demang Toyareka, karena hubungan terlarang dalam Islam (menikah dengan sepupu). Maka dengan segera Sultan mengirim gandek untuk membatalkan pembunuhan terhadap Adipati Wirasaba.
Gandek yang menyusul sampai di desa Bener melambai-lambai dari kejauhan setelah melihat
gandek yang pertama berada di dekat Adipati Warga Utama I, dengan maksud jangan membunuh,
tapi justru gandek yang pertama berfikir untuk segera membunuk Adipati Warga Utama I. Maka di
tikamlah tepat di dadanya sang Adipati. Kedua kelompok gandek saling menyalahkan satu sama lain,
namun Adipati sempat memberi pesan untuk jangan bertengkar dan melaporkan kepada sultan
bahwa pembunuhan tidak dapat di cegah oleh gandek yang dating berikutnya. Adipati pun percaya
bahwa ini adalah takdir untuk kematiannya.
Setelah kematian Adipati Warga Utama I, Sultan Pajang Adiwijaya kebingungan dan merasa sangat bersalah dan atas kejadian ini. Maka dengan segera Sultan Pajang memanggil putera Adipati Warga Utama I, namun tidak ada yang berani menghadap. Maka satu dari dua putra menantu Adipati yaitu Raden Joko Kaiman (suami R. Rara Kartimah) memberanikan diri untuk menghadap dengan menanggung apapun segala resikonya. Bukan amarah dan murka yang di dapat tetapi anugerah dijadikannya Adipati dengan gelar Adipati Warga Utama II. Karena Raden Joko Kaiman bukan keturunan kandung dari Adipati yang terbunuh maka teks pengangkatanpun harus dirubah. Dan atas kemurahan Sultan Pajang akhirnya Wirasaba dibagi menjadi empat yaitu;; 1. Wilayah Banjar Pertambakan diberikan kepada Kyai Ngabei Wirayuda. 2. Wilayah Merden diberikan kepada Kyai Ngabei Wirakusuma. 3. Wilayah Wirasaba diberikan kepada Kyai Ngabei Wargawijaya.
4. Wilayah Kejawar dikuasai sendiri dan kemudian dibangun dengan membuka hutan Mangli dibangun pusat pemerintahan dan diberi nama Kabupaten Banyumas.
Atas pembagian ini maka Adipati Warga Utama II juga bergelar sebagai Adipati Mrapat.Setelah kematian Adipati Warga Utama I, Sultan Pajang Adiwijaya kebingungan dan merasa sangat bersalah dan atas kejadian ini. Maka dengan segera Sultan Pajang memanggil putera Adipati Warga Utama I, namun tidak ada yang berani menghadap. Maka satu dari dua putra menantu Adipati yaitu Raden Joko Kaiman (suami R. Rara Kartimah) memberanikan diri untuk menghadap dengan menanggung apapun segala resikonya. Bukan amarah dan murka yang di dapat tetapi anugerah dijadikannya Adipati dengan gelar Adipati Warga Utama II. Karena Raden Joko Kaiman bukan keturunan kandung dari Adipati yang terbunuh maka teks pengangkatanpun harus dirubah. Dan atas kemurahan Sultan Pajang akhirnya Wirasaba dibagi menjadi empat yaitu;; 1. Wilayah Banjar Pertambakan diberikan kepada Kyai Ngabei Wirayuda. 2. Wilayah Merden diberikan kepada Kyai Ngabei Wirakusuma. 3. Wilayah Wirasaba diberikan kepada Kyai Ngabei Wargawijaya.
4. Wilayah Kejawar dikuasai sendiri dan kemudian dibangun dengan membuka hutan Mangli dibangun pusat pemerintahan dan diberi nama Kabupaten Banyumas.
Dikisahkan pada saat itu telah terjadi suatu peristiwa yang menimpa diri (kematian) Adipati Wirasaba ke VI (Warga Utama ke I) dikarenakan kesalahan paham dari Kanjeng Sultan pada waktu itu, sehingga terjadi musibah pembunuhan di Desa Bener, Kecamatan Lowano, Kabupaten Purworeio (sekarang) sewaktu Adipati Wirasaba dalam perjalanan pulang dari pisowanan ke Paiang. Dari peristiwa tersebut untuk menebus kesalahannya maka Sultan Pajang, memanggil putra Adipati Wirasaba namun tiada yang berani menghadap.
Kemudian salah satu diantaranya putra menantu yang memberanikan diri menghadap dengan catatan apabila nanti mendapatkan murka akan dihadapi sendiri, dan apabila mendapatkan anugerah/kemurahan putra-putra yang lain tidak boleh iri hati. Dan ternyata diberi anugerah diwisuda menjadi Adipati Wirasaba ke VII.
Semenjak itulah putra menantu yaitu R. Joko Kahiman menjadi Adipati dengan gelar ADIPATI WARGA UTAMA II.
Kemudian sekembalinya dari Kasultanan Pajang atas kebesaran hatinya dengan seijin Kanjeng Sultan, bumi Kadipaten Wirasaba dibagi menjadi empat bagian diberikan kepada iparnya.
1. Wilayah Banjar Pertambakan diberikan kepada Kyai Ngabei Wirayuda.
2. Wilayah Merden diberikan kepada Kyai Ngabei Wirakusuma.
3. Wilayah Wirasaba diberikan kepada Kyai Ngabei Wargawijaya.
4. Wilayah Keiawar dikuasai sendiri dan kemudian dibangun dengan membuka hutan Mangli dibangun pusat pemerintahan dan diberinama Kabupaten Banyumas.
Karena kebijaksanaannya membagi wilayah Kadipaten menjadi empat untuk para iparnya maka dijuluki Adipati Marapat.
Siapakah Raden Joko Kahiman itu ?.
R. Joko Kahiman adalah putra R. Banyaksasro dengan ibu dari Pasir Luhur. R. Banyaksosro adalah putra R. Baribin seorang pangeran Majapahit yang karena suatu kesalahan maka menghindar ke Pajajaran yang akhirnya dijodohkan dengan Dyah Ayu Ratu Pamekas putri Raja Pajajaran. Sedangkan Nyi Banyaksosro ibu R. Joko Kahiman adalah putrid Adipati Banyak Galeh (Mangkubumi II) dari Pasir Luhur semenjak kecil R. Joko Kahiman diasuh oleh Kyai Sambarta dengan Nyai Ngaisah yaitu putrid R. Baribin yang bungsu.
Adipati Banyak Geleh adalah keturunan ke 9 dari R. Aria Bangah dari Galuh Pakuan putra Pajajaran.
Dari sejarah terungkap bahwa R. Joko Kahiman adalah merupakan SATRIA yang sangat luhur untuk bisa diteladani oleh segenap warga Kabupaten Banyumas khususnya karena mencerminkan :
a. Sifat altruistis yaitu tidak mementingkan dirinya sendiri.
b. Merupakan pejuang pembangunan yang tangguh, tanggap dan tanggon.
c. Pembangkit jiwa persatuan kesatuan (Majapahit, Galuh Pakuan, Pajajaran) menjadi satu darah dan memberikan kesejahteraan ke kepada semua saudaranya.
Dengan demikian tidak salah apabila MOTO DAN ETOS KERJA UNTUK Kabupaten Banyumas SATRIA.
Candra atau surya sengkala untuk hari jadi Kabupaten Banyumas adalah "BEKTINING MANGGALA TUMATANING PRAJA" artinya tahun 1582.
Bila diartikan dengan kalimat adalah "KEBAKTIAN DALAM UJUD KERJA SESEORANG PIMPINAN / MANGGALA MENGHASILKAN AKAN TERTATANYA ATAU TERBANGUNNYA SUATU PEMERINTAHAN".
Kabupaten Banyumas berdiri pada tahun 1582, tepatnya pada hari Jum'at Kliwon tanggal 6 April 1582 Masehi, atau bertepatan tanggal 12 Robiul Awwal 990 Hijriyah.
Kemudian ditetapkan dengan Peraturan Daerah (PERDA) Kabupaten Daerah Tingkat II Banyumas Nomor 2 tahun 1990.
PARA ADIPATI DAN BUPATI SEMENJAK BERDIRINYA
KABUPATEN BANYUMAS TAHUN 1582
1. R. Joko Kahiman, Adipati Warga Utama II
2. R. Ngabei Merta Sura (1560)
3. R. Ngabei Mertasura II (Ngabei Kalidethuk) (1561 -1620)
4. R. Ngabei Mertayuda I (Ngabei Bawang) (1620 - 1650)
5. R. Tumenggung Mertayuda II (R.T. Seda Masjid, R.T. Yudanegara I) Tahun 1650 - 1705
6. R. Tumenggung Suradipura (1705 -1707)
7. R. Tumenggung Yudanegara II (R.T. Seda Pendapa) Tahun 1707 -1743.
8. R. Tumenggung Reksapraja (1742 -1749)
9. R. Tumenggung Yudanegara III (1755) kemudian diangkat menjadi Patih Sultan Yogyakarta bergelar Danureja I.
10. R. Tumenggung Yudanegara IV (1745 - 1780)
11. R.T. Tejakusuma, Tumenggung Kemong (1780 -1788)
12. R. Tumenggung Yudanegara V (1788 - 1816)
13. Kasepuhan : R. Adipati Cokronegara (1816 -1830) Kanoman : R. Adipati Brotodiningrat (R.T. Martadireja)
14. R.T. Martadireja II (1830 -1832) kemudian pindah ke Purwokerto (Ajibarang).
15. R. Adipati Cokronegara I (1832- 1864)
16. R. Adipati Cokronegara II (1864 -1879)
17. Kanjeng Pangeran Arya Martadireja II (1879 -1913)
18. KPAA Gandasubrata (1913 - 1933)
19. RAA. Sujiman Gandasubrata (1933 - 1950)
20. R. Moh. Kabul Purwodireja (1950 - 1953)
21. R. Budiman (1953 -1957)
22. M. Mirun Prawiradireja (30 - 01 - 1957 / 15 - 12 - 1957)
23. R. Bayi Nuntoro (15 - 12 - 1957 / 1960)
24. R. Subagio (1960 -1966)
25. Letkol Inf. Sukarno Agung (1966 -1971)
26. Kol. Inf. Poedjadi Jaringbandayuda (1971 -1978)
27. Kol. Inf. R.G. Rujito (1978 -1988)
28. Kol. Inf. H. Djoko Sudantoko (1988 - 1998)
29. Kol. Art. HM Aris Setiono, SH, S.IP
30. Drs. Marjoko
KABUPATEN BANYUMAS TAHUN 1582
1. R. Joko Kahiman, Adipati Warga Utama II
2. R. Ngabei Merta Sura (1560)
3. R. Ngabei Mertasura II (Ngabei Kalidethuk) (1561 -1620)
4. R. Ngabei Mertayuda I (Ngabei Bawang) (1620 - 1650)
5. R. Tumenggung Mertayuda II (R.T. Seda Masjid, R.T. Yudanegara I) Tahun 1650 - 1705
6. R. Tumenggung Suradipura (1705 -1707)
7. R. Tumenggung Yudanegara II (R.T. Seda Pendapa) Tahun 1707 -1743.
8. R. Tumenggung Reksapraja (1742 -1749)
9. R. Tumenggung Yudanegara III (1755) kemudian diangkat menjadi Patih Sultan Yogyakarta bergelar Danureja I.
10. R. Tumenggung Yudanegara IV (1745 - 1780)
11. R.T. Tejakusuma, Tumenggung Kemong (1780 -1788)
12. R. Tumenggung Yudanegara V (1788 - 1816)
13. Kasepuhan : R. Adipati Cokronegara (1816 -1830) Kanoman : R. Adipati Brotodiningrat (R.T. Martadireja)
14. R.T. Martadireja II (1830 -1832) kemudian pindah ke Purwokerto (Ajibarang).
15. R. Adipati Cokronegara I (1832- 1864)
16. R. Adipati Cokronegara II (1864 -1879)
17. Kanjeng Pangeran Arya Martadireja II (1879 -1913)
18. KPAA Gandasubrata (1913 - 1933)
19. RAA. Sujiman Gandasubrata (1933 - 1950)
20. R. Moh. Kabul Purwodireja (1950 - 1953)
21. R. Budiman (1953 -1957)
22. M. Mirun Prawiradireja (30 - 01 - 1957 / 15 - 12 - 1957)
23. R. Bayi Nuntoro (15 - 12 - 1957 / 1960)
24. R. Subagio (1960 -1966)
25. Letkol Inf. Sukarno Agung (1966 -1971)
26. Kol. Inf. Poedjadi Jaringbandayuda (1971 -1978)
27. Kol. Inf. R.G. Rujito (1978 -1988)
28. Kol. Inf. H. Djoko Sudantoko (1988 - 1998)
29. Kol. Art. HM Aris Setiono, SH, S.IP
30. Drs. Marjoko
Tidak ada komentar:
Posting Komentar